Kalau kau harus kehilangan motormu maka katakanlah “Untung aku masih punya sepeda”. Kalau kau harus kehilangan sepedamu maka katakanlah “Untung aku masih bisa berjalan”. Kalau harta bendamu habis terbakar maka katakanlah “Untung aku masih bisa selamat”. Bahkan ketika kau harus kehilangan tangan kananmu maka katakanlah “Untung aku masih punya tangan kiri”.
Budaya untung inilah yang ayah ajarkan kepadaku sejak kecil. Kata “untung” sebagai pengganti kata syukur. Bersyukur pada setiap keadaan yang Tuhan berikan. Bersyukur sampai titik darah penghabisan. Bersyukur sampai nafas tak menyatu lagi dengan raga.
Teringat sewaktu kecil, kalau aku sedang malas mencuci pakaian maka ayah akan mengomel dengan mengatakan “Orang malas itu tanda tidak bersyukur. Kan kamu tinggal putar kran, air akan mengalir deras. Tinggal tuang detergen. Rendamlah pakaianmu. Kucek. Beres kan?! Bandingkan dengan masa kecil ayah dulu. Mau pakai air aja mesti nyari dulu, menimba dulu. Detergen belum tentu ada. Serba susah. Tapi ayah tetap semangat melakukannya. Seandainya ada pintu ajaib Doraemon, akan ayah lemparkan kamu ke jaman dulu”.
Demi mendengar omelan ayah, beranjaklah aku mencuci pakaian. Aku geli sendiri karena mendengar kata-kata “pintu ajaib Doraemon”. Ingin rasanya aku mengatakan “Itu kan dulu yah?!” tapi aku tak berani karena itu adalah sikap yang Kurang Ajar!
Bersyukur sebagai bentuk eksisitensi diri. Sebagai pengakuan diri: “Tuhan, lihatlah aku! Di sini aku kuat. Di sini aku bergembira atas semua karuniaMu. Aku ingin Kau tahu bahwa aku adalah hambaMu yang berusaha menjadi yang tebaik”. Sebagai bentuk “pamer” kebaikan pada Tuhan. Dan biarkan Tuhan kemudian tersenyum atas setiap tingkah kebaikan kita. Meridhoi setiap amal kita dan membuat kita menjadi pantas untuk menerima kemuliaan dariNya.
Sebagai ilustrasi, ayah pernah menceritakan kepadaku sebuah kisah yang lucu. Aku sampai tergelak mendengarnya.
Alkisah di sebuah desa diadakan acara hiburan bagi penduduknya. Apalagi kalau bukan acara panggung dangdut. Hiburan yang sangat jarang diadakan. Semua masyarakat berkumpul hingga warga desa tetangga. Acara demi acara berlalu. Penyanyi satu berganti dengan penyanyi yang lain. Semua bergembira, bersuka cita, berjoget mengiringi nyanyian sang biduan yang merdu.
Setelah itu penyanyi berganti lagi. Kali ini yang naik ke atas panggung adalah seorang waria. Mulanya biasa saja. Sang waria mulai bernyanyi. Sebait dua bait lagu yang ia nyanyikan tak menampakkan keburukan suaranya. Namun selanjutnya suaranya semakin terlihat parau, sumbang, fales, tidak matching sama sekali dengan musiknya. Penonton mulai kecewa melalui teriakan-teriakan mereka “Huuuuu…..!!”. Namun sang waria tidak memperdulikan penonton, ia terus bernyanyi. Penonton semakin resah dengan menambahkan teriakan mereka “Huuuu…Turun!..Turun!..Turun!!” dan melempari sang waria dengan benda-benda di sekeliling mereka.
Dengan bandelnya sang waria terus bernyanyi sambil menghindari lemparan-lemparan penonton. Gesit, tak satupun benda mengenai tubuhnya dan ia pun mengejek “Nggak kena…nggak kena…nggak kena…! weeek…”. Lidahnya menjulur diantara bibir merahnya yang merona. Penonton emosi dan melempar lebih banyak lagi. Terkenalah tubuhnya oleh lemparan penonton. Dengan sigap ia semakin mengejek “Nggak sakit…nggak sakit…nggak sakit…” Kini ia arahkan pantatnya ke arah penonton sambil bergoyang-goyang. Penonton naik pitam. Kini serangannya lebih mengerikan. Aparat desa tak mampu mengendalikan keadaan karena jumlah penonton yang lebih besar.
Kini botol beling, gelas, kayu, batu-batu (yang lebih besar tentunya) mengarah serang ke waria. Akhirnya sang waria tumbang. Ia pingsan. Darah mengalir dari kepalanya. Cepat-cepat aparat desa ke atas panggung demi menyelamatkan sang waria. Balum sempat tubuhnya dibopong, tiba-tiba ia terbangun. Dengan sisa-sisa tenaganya, tidak mempedulikan seberapa sakit lukanya, ia menyambar pengeras suara yang tergeletak tak jauh dari tangannya. Dengan lantang ia berteriak ke arah penonton “Nggak mati…nggak mati…nggak mati…!!!”. Brukk! Kemudian ia pingsan lagi. Betapa teguh sang waria mempertahankan eksistensinya.
Begitulah kita seharusnya. Tetap bertahan dengan apapun keadaan kita. Apapun yang terjadi dan apa saja yang telah Tuhan berikan. Nikmat kah itu atau kesengsaraan kah itu. Hanya ada satu kata, “merasa untung”. Rasa syukur yang melahirkan nikmatnya iman, iman yang akan mengundang keikhlasan, ikhlas yang menghasilkan pahala, dan pahala yang akan mengantarkan kita ke SyurgaNya. Memperoleh Ridho dan tambahan nikmat dariNya. Berusaha, sampai titik darah penghabisan.
#Bagaimanapun bergejolaknya hatiku, kan ku ingat selalu pesan2 baikmu, my hero....#
Oleh : Mbak Resta Feryana
Budaya untung inilah yang ayah ajarkan kepadaku sejak kecil. Kata “untung” sebagai pengganti kata syukur. Bersyukur pada setiap keadaan yang Tuhan berikan. Bersyukur sampai titik darah penghabisan. Bersyukur sampai nafas tak menyatu lagi dengan raga.
Teringat sewaktu kecil, kalau aku sedang malas mencuci pakaian maka ayah akan mengomel dengan mengatakan “Orang malas itu tanda tidak bersyukur. Kan kamu tinggal putar kran, air akan mengalir deras. Tinggal tuang detergen. Rendamlah pakaianmu. Kucek. Beres kan?! Bandingkan dengan masa kecil ayah dulu. Mau pakai air aja mesti nyari dulu, menimba dulu. Detergen belum tentu ada. Serba susah. Tapi ayah tetap semangat melakukannya. Seandainya ada pintu ajaib Doraemon, akan ayah lemparkan kamu ke jaman dulu”.
Demi mendengar omelan ayah, beranjaklah aku mencuci pakaian. Aku geli sendiri karena mendengar kata-kata “pintu ajaib Doraemon”. Ingin rasanya aku mengatakan “Itu kan dulu yah?!” tapi aku tak berani karena itu adalah sikap yang Kurang Ajar!
Bersyukur sebagai bentuk eksisitensi diri. Sebagai pengakuan diri: “Tuhan, lihatlah aku! Di sini aku kuat. Di sini aku bergembira atas semua karuniaMu. Aku ingin Kau tahu bahwa aku adalah hambaMu yang berusaha menjadi yang tebaik”. Sebagai bentuk “pamer” kebaikan pada Tuhan. Dan biarkan Tuhan kemudian tersenyum atas setiap tingkah kebaikan kita. Meridhoi setiap amal kita dan membuat kita menjadi pantas untuk menerima kemuliaan dariNya.
Sebagai ilustrasi, ayah pernah menceritakan kepadaku sebuah kisah yang lucu. Aku sampai tergelak mendengarnya.
Alkisah di sebuah desa diadakan acara hiburan bagi penduduknya. Apalagi kalau bukan acara panggung dangdut. Hiburan yang sangat jarang diadakan. Semua masyarakat berkumpul hingga warga desa tetangga. Acara demi acara berlalu. Penyanyi satu berganti dengan penyanyi yang lain. Semua bergembira, bersuka cita, berjoget mengiringi nyanyian sang biduan yang merdu.
Setelah itu penyanyi berganti lagi. Kali ini yang naik ke atas panggung adalah seorang waria. Mulanya biasa saja. Sang waria mulai bernyanyi. Sebait dua bait lagu yang ia nyanyikan tak menampakkan keburukan suaranya. Namun selanjutnya suaranya semakin terlihat parau, sumbang, fales, tidak matching sama sekali dengan musiknya. Penonton mulai kecewa melalui teriakan-teriakan mereka “Huuuuu…..!!”. Namun sang waria tidak memperdulikan penonton, ia terus bernyanyi. Penonton semakin resah dengan menambahkan teriakan mereka “Huuuu…Turun!..Turun!..Turun!!” dan melempari sang waria dengan benda-benda di sekeliling mereka.
Dengan bandelnya sang waria terus bernyanyi sambil menghindari lemparan-lemparan penonton. Gesit, tak satupun benda mengenai tubuhnya dan ia pun mengejek “Nggak kena…nggak kena…nggak kena…! weeek…”. Lidahnya menjulur diantara bibir merahnya yang merona. Penonton emosi dan melempar lebih banyak lagi. Terkenalah tubuhnya oleh lemparan penonton. Dengan sigap ia semakin mengejek “Nggak sakit…nggak sakit…nggak sakit…” Kini ia arahkan pantatnya ke arah penonton sambil bergoyang-goyang. Penonton naik pitam. Kini serangannya lebih mengerikan. Aparat desa tak mampu mengendalikan keadaan karena jumlah penonton yang lebih besar.
Kini botol beling, gelas, kayu, batu-batu (yang lebih besar tentunya) mengarah serang ke waria. Akhirnya sang waria tumbang. Ia pingsan. Darah mengalir dari kepalanya. Cepat-cepat aparat desa ke atas panggung demi menyelamatkan sang waria. Balum sempat tubuhnya dibopong, tiba-tiba ia terbangun. Dengan sisa-sisa tenaganya, tidak mempedulikan seberapa sakit lukanya, ia menyambar pengeras suara yang tergeletak tak jauh dari tangannya. Dengan lantang ia berteriak ke arah penonton “Nggak mati…nggak mati…nggak mati…!!!”. Brukk! Kemudian ia pingsan lagi. Betapa teguh sang waria mempertahankan eksistensinya.
Begitulah kita seharusnya. Tetap bertahan dengan apapun keadaan kita. Apapun yang terjadi dan apa saja yang telah Tuhan berikan. Nikmat kah itu atau kesengsaraan kah itu. Hanya ada satu kata, “merasa untung”. Rasa syukur yang melahirkan nikmatnya iman, iman yang akan mengundang keikhlasan, ikhlas yang menghasilkan pahala, dan pahala yang akan mengantarkan kita ke SyurgaNya. Memperoleh Ridho dan tambahan nikmat dariNya. Berusaha, sampai titik darah penghabisan.
#Bagaimanapun bergejolaknya hatiku, kan ku ingat selalu pesan2 baikmu, my hero....#
Oleh : Mbak Resta Feryana
wah, keren gambarnya !! :D
BalasHapus